Kisah Sahabat Nabi Habib Bin Zaid Ra.
Habib bin Zaid merupakan sahabat Anshar yang memeluk Islam pada masa awal, sebelum Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, yakni pada Ba’iatul Aqasbah kedua. Saat itu ia hadir di Mina (Bukit Aqabah) bersama kedua orang tuanya, Zaid bin Ashim dan Nusaibah binti Ka’ab, pahlawan wanita Islam yang lebih terkenal dengan nama Ummu Umarah. Bisa jadi sebelumnya mereka telah memeluk Islam di Madinah lewat dakwah sahabat Nabi ﷺ , Mush’ab bin Umair, dan mengukuhkan keislamannya di hadapan Nabi ﷺ pada Ba’iatul Aqabah kedua tersebut.
Perjuangan melawan Musailamah al Kadzdzab
Seperti umumnya sahabat pada masa awal, Habib membaktikan hidupnya untuk berjuang membela dan menegakkan panji-panji Islam di bumi Arabia. Pada perang Uhud, ia berjuang bahu membahu dengan ibunya Nusaibah dan beberapa sahabat lainnya dalam menghadang serangan kaum kafir Quraisy yang mengarah kepada Nabi ﷺ . Saat itu keadaan beliau sangat kritis, karena terjatuh dalam lubang dan dalam keadaan terluka. Tetapi kisah paling menarik dalam kehidupannya adalah ketika Musailamah al Kadzdzab mengangkat diri sebagai nabi. Sebagai sekutu dari Nabi Muhammad ﷺ dalam kenabian.
Musailamah adalah seorang tokoh dari Bani Hanifah di Yamamah. Ia mempunyai kekuatan pasukan perang yang ditakuti oleh kabilah Arab lainnya. Sebelum Musailamah, pemimpin Yamamah adalah Haudzah bin Ali. Nabi ﷺ pernah mendakwahi Haudzah untuk memeluk Islam. Sahabat Salith bin al Amiry yang membawa surat dakwah Nabi ﷺ ini dia terima dengan baik dan ramah oleh Haudzah. Ia bersedia memeluk Islam sesuai ajakan Nabi ﷺ , tetapi mengajukan syarat untuk berbagi kekuasaan. Ia mengirim surat balasan tersebut dan memberikan berbagai macam hadiah bagi Nabi ﷺ , tetapi beliau tidak menanggapi syarat Haudzah.
Ketika Nabi ﷺ dalam perjalanan pulang dari Fathul Makkah, beliau mendengar kabar kematian Haudzah dari Malaikat Jibril. Beliau memberitahukan kematian Haudzah kepada para sahabat, kemudian bersabda, “Dari Yamamah ini, akan muncul seorang pendusta yang mengaku sebagai nabi. Dia akan menjadi pembunuh sepeninggalku…”
Ketika ada yang bertanya tentang siapa yang dibunuhnya, beliau bersabda, “Kalian dan teman-teman kalian…..”
Menjadi utusan Rasulullah ﷺ dalam berkirim surat kepada Musailamah


Pengakuan Musailamah sebagai nabi dan rasul tersebut ternyata mendapat dukungan cukup besar, khususnya dari pasukannya dan penduduk Yamamah. Dengan kekuatan yang dia miliki, ia melakukan penyebaran kebohongannya tersebut dan memaksa mereka mempercayainya. Jika menolak, mereka akan mengalami teror dan penyiksaan yang tak terkira. Dan puncak kedurhakaannya adalah ketika ia mengirim surat kepada Nabi ﷺ untuk menuntut hak kenabian dan kekuasaan karena merasa berserikat dalam kenabian, bahkan dengan kurang ajarnya, ia menulis dalam awal suratnya,”Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah…..”
Nabi ﷺ mengirim balasan surat kepada Musailamah untuk membuka kedok kebohongannya, dan agar menghentikan provokasinya kepada masyarakat Arab. Dan pilihan Nabi ﷺ untuk membawa surat tersebut adalah Habib bin Zaid. Habib tahu betul resiko apa yang akan Ia hadapi jika bertemu Musailamah dalam menyampaikan surat Nabi ﷺ . Tetapi baginya, resiko tersebut tidak ada bedanya dengan menerjuni berbagai pertempuran yang selama ini dia lakukan bersama Rasulullah ﷺ dan para sahabat lainnya. Bahkan justru kesyahidan-lah yang selalu ia dambakan. Karena itu dengan tegar dan semangat baja, dibawalah langkahnya menuju tempat kediaman Musailamah di Yamamah.
Sesungguhnya telah menjadi etika umum saat itu, seorang utusan tidak boleh dilukai dan dibunuh, semarah apapun kepada mereka dan pengirimnya, kecuali jika ia juga menjadi mata-mata. Tetapi Musailamah memang penipu yang licik dan sombong, yang tidak lagi menghargai etika dalam hubungan antar bangsa dan kabilah. Ketika Habib menyerahkan surat dari Nabi ﷺ , Musailamah membaca dengan angkuhnya kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Habib dan menyiksanya tanpa peri kemanusiaan.
Kisah keteguhan iman dan hati sahabat Habib bin Zaid
Keesokan harinya, Musailamah mengumpulkan rakyat Yamamah dan para pendukungnya seperti ketika ada peristiwa dan pertemuan penting. Ia berfikir, setelah siksaan demi siksaan yang ia timpakan kepada Habib, utusan Rasulullah ﷺ itu akan berubah pikiran. Dan kemudian bersedia mengakui kenabiannya. Dan ia ingin menunjukkan hal itu kepada rakyat Yamamah untuk mengokohkan kedudukannya.
Setelah rakyat Yamamah berkumpul mengitari suatu panggung yang ia siapkan, Habib pun ia datangkan. Masih jelas terlihat bekas-bekas siksaan di tubuhnya, wajahnya tampak lesu dan patah semangat seakan-akan telah menyerah. Musailamah sangat gembira melihat penampilan Habib tersebut, ia sudah sangat “kepedean” bahwa rencananya akan berhasil. Ia menghadap kepada Habib dan berkata, “Apakah engkau mengakui Muhammad itu sebagai utusan Allah?”
“Benar,” Kata Habib, “Saya mengakui Muhammad ﷺ adalah utusan Allah!!”
Musailamah berkata lagi, “Dan engkau mengakui juga aku sebagai utusan Allah?”
“Apa?” Kata Habib seolah-olah ia orang yang tuli, “Engkau berkata apa? Aku tidak mendengar apapun?”
Wajah Musailamah menjadi merah padam tanda kemarahan mulai menyelimutinya. Tetapi ia masih mencoba mengendalikan dirinya. Sekali lagi ia berkata, “Apakah engkau mengakui Muhammad itu sebagai utusan Allah?”
“Benar, saya mengakui Muhammad adalah utusan Allah!!” Kata Habib.
Dan ketika Musailamah berkata lagi, “Dan engkau mengakui juga aku sebagai utusan Allah?”
Seakan-akan ia orang yang tuli, Habib berkata dengan lantang, “Apa? Engkau berkata apa? Aku tidak mendengar apapun?”
Mengalami siksaat yang amat pedih
Musailamah memuncak amarahnya, wajahnya menjadi hitam. Ia memerintahkan algojonya untuk menusuk Habib dengan pedangnya, tetapi tidak sampai membunuhnya. Kemudian algojo tersebut menyayat dan memotong tubuh Habib bagian demi bagian, seonggok daging demi seonggok daging, yang kesemuanya itu tidak langsung membunuhnya. Bisa terbayangkan bagaimana sakitnya. Meskipun begitu, tidak sedikitpun kata keluhan keluar dari mulut Habib kecuali kalimat tauhid, Laa ilaaha illallah Muhammadur rasulullah, hingga ruhnya naik menuju hadirat Allah SWT.
Sebenarnyalah kalau Habib “berpura-pura” mengakuinya, tetapi jauh di dalam hatinya menolak pengakuan tersebut dan memantapkan hatinya atas kalimat tauhid, tentulah ia masih dapat mendapatkan maaf. Hal ini pernah Nabi ﷺ sampaikan kepada Ammar bin Yasir, dan juga beliau pernah berkomentar tentang tawanan Musailamah (Lihat kisah “Dua Tawanan Musailamah al Kadzdzab”). Tetapi keimanan telah merasuk ke dalam tulang sum-sumnya sehingga bagi Habib tidak ada kompromi dan tawar-menawar dalam hal keyakinannya akan Allah dan RasulNya.
Berita syahidnya Habib bin Zaid ini sampai ke Madinah, Nabi ﷺ mendoakan kebaikan bagi Habib, sementara Nusaibah, ibu Habib bin Zaid langsung mengucapkan sumpah untuk melakukan balas dendam kepada Musailamah. Ia berkesempatan mengikuti perang Yamamah di masa Abu Bakar. Ia berperan serta memporak-porandakan pasukan Musailamah yang sebelumnya sempat mengalahkan pasukan muslim. Tetapi ia tidak sempat membunuh Musailamah, karena telah didahului oleh Wahsyi dengan tombak mautnya. Tombak yang juga telah menewaskan paman dan sahabat Nabi ﷺ , Hamzah bin Abdul Muthalib di perang Uhud.
Mari bergabung dalam komunitas pencinta pencinta siroh nabawi. Karena akan ada banyak kisah Siroh Nabi Muhammad ﷺ , para sahabat dan sahabiyah dan para Ulama yang dapat kita ambil hikmahnya.