Kisah Sahabat Nabi Umar Bin Khaththab Ra. Khulafaur Rasyidin ke Dua. Sahabat Umar Bin Khaththab Ra menjabat sebagai menggantikan Abu Bakar Ra yang telah Wafat. Sebagai Khalifah, kesibukan beliau pun banyak terkuras untuk mengurusi keperluan umat muslim.


Kisah Awal Keislaman Sahabat Umar Ra.
Hampir semua umat islam pasti akan mengenal sosok Umar bin Khaththab RA. Mulai dari Keberanian, keadilan, kecerdasan, sikap kritis, keras dan ketegasannya, sekaligus kelembutan, kesedihan dan hati yang mudah tersentuh. Sifat sifat tersebut adalah dua kondisi berlawanan yang menyatu dalam pribadi Umar. Terutama keberaniannya, telah terkenal sejak dia belum memeluk islam, jagoan dan ahli berkelahi yang selalu memenangkan pertandingan adu kekuatan di Pasar Ukazh. Namun keberanian dan kekuatan ini pulalah yang akhirnya mengantarkan pada Hidayah Allah SWT. Ketika membentur keberanian dan kekuatan iman adiknya, Fathimah binti Khaththab.
Keinginan Umar Bin Khattab untuk membunuh Rasulullah ﷺ
Kisah keislamannya ini berawal ketika tokoh-tokoh kafir Quraisy seperti Abu Jahal bin Hisyam, Uqbah bin Nafik dll. gagal membunuh Nabi ﷺ. Sementara dakwah islam semakin meluas, dan beberapa orang sahabat berhasil hijrah ke Habsyi. Dan Mereka bisa beribadah dengan tenang di bawah lindungan Raja Najasyi. Sebagai jagoan terkuat di Makkah, Umar merasa harus ia sendiri yang membunuh Muhammad. Yang Ia anggap telah murtad dan memecah belah kaum Quraisy serta memaki dan menghina agama nenek moyangnya.
Umar pergi ke rumah Al Arqam, tempat Rasulullah ﷺ mengajarkan islam kepada sahabat-sahabat beliau. Di tengah perjalanan ia bertemu Nu’aim bin Abdullah, yang menanyakan kepergiannya dengan pedang terhunus. Begitu mengetahui niatnya untuk membunuh Rasullullah ﷺ, Nu’aim justru mencela Umar, “Hendaknya engkau meluruskan urusan keluargamu dulu sebelum urusan Bani Manaf. Sesungguhnya adikmu sendiri Fathimah binti Khaththab dan suaminya yang juga anak pamanmu, Sa’id bin Zaid telah mengikuti ajaran Muhammad, merekalah yang harus engkau selesaikan urusannya.”
Betapa geramnya Umar mendengar penjelasan Nu’aim bin Abdullah. Ia pun membelokkan langkahnya menuju rumah Sa’id bin Zaid dengan kemarahan yang memuncak. Saat itu, di rumah Sa’id juga ada Khabbab ibnu Aratt yang sedang mengajarkan ayat-ayat Al Qur’an pada mereka. Mendengar kedatangan Umar, Khabbab langsung bersembunyi, Sa’id membukakan pintu dan Fathimah menyembunyikan lembaran mushaf Al Qur’an.
Umar menemui keluarga adiknya Fathimah Binti Khaththab
Begitu melihat Sa’id, kemarahan Umar tidak bisa Ia bendung lagi. Seolah kemarahannya kepada Nabi ﷺ ia tumpahkan semua kepada adik iparnya tersebut. Umar pun membentak Sa”id sebagai murtad dan memukulnya hingga terjatuh. Fathimah mendekat untuk membela suaminya, tapi Umar pun memukul wajahnya. Sungguh keadaan yang mengenaskan dan membahayakan bagi kedua suami istri tsb. Umar sudah menduduki dada Sa’id, satu pukulan telak dari jagoan Ukazh itu bisa jadi akan membunuhnya.
Namun tiba-tiba terdengar pekikan keras dari Fathimah, “Hai musuh Allah, kamu berani memukul saya karena saya beriman kepada Allah…! Hai Umar, perbuatlah apa yang engkau suka, karena saya akan tetap bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasullullah…!”
Umar tersentak bagai tersengat listrik, pekikan itu seakan menembus ulu hatinya… Terkejut dan heran. Umar bin Khaththab adalah seorang lelaki yang sering banyak orang lukiskan : “Jika ia berbicara, maka orang akan terpaksa mendengarkannya, jika berjalan, langkahnya cepat bagai dalam kejaran orang, jika berkelahi maka pukulannya adalah pukulan maut yang mematikan.”
Tetapi ternyata ada orang yang berani menentangnya, seorang wanita lagi, dan adiknya pula. Kekuatan apa yang bisa membuatnya berani menentang kalau tidak kekuatan yang Maha Hebat, kekuatan iman… Mulailah percik hidayah menghampirinya. Kemarahannya pun mereda. Ia kemudian meminta lembar-lembar Al Qur’an yang Fathimah pegang. Tetapi sekali lagi jagoan duel di Pasar Ukazh ini seakan tak berkutik. Ketika adiknya tsb. Berkata dengan tegas, “Tidak mungkin, ia tidak boleh tersentuh kecuali oleh orang-orang yang suci! Pergilah, mandilahlah dan bersuci..!!”
Turunnya hidayah Allah Ta’ala untuk Umar
Bagai anak kecil yang penurut, Umarpun berlalu, sesaat kemudian kembali dengan jenggot yang mengucurkan air. Fathimah pun memberikan lembaran mushaf yang berisi Surah Thaha ayat 1 – 6. Makin kuatlah hidayah Allah membuka mata hatinya. Setelah ayat-ayat tersebut Ia baca, meluncurlah kata-kata dari mulutnya. “Tidak pantas bagi Allah yang ayat-ayatnya sebegini indahnya, sebegini mulianya mempunyai sekutu yang harus disembah, tunjukkanlah padaku dimana Muhammad?”
Sebuah pernyataan yang menunjukkan perubahan sikap dan keyakinannya selama ini terhadap Nabi ﷺ. Khabbab bin Aratt pun keluar dari persembunyiannya. Ia kemudian berkata, “Bergembiralah Umar, sesungguhnya Nabi telah bersabda tentang dirimu. Beliau berdoa : Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah satu dari dua Umar, Umar bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin Khaththab, dan engkau dipilih Allah untuk memperkuat Islam.”
Khabbab mengantarkan Umar ke rumah Al Arqam di dekat Shafa. Di sana Nabi ﷺ pun menemuinya. Beliau memegang ujung baju Umar dan berkata, “Masuklah kamu ke dalam Islam wahai Ibnu Al Khaththab. Ya Allah, berilah hidayah kepadanya!”
Umar pun bersyahadat, maka bertakbirlah para sahabat yang hadir. Dengan takbir yang bisa terdengar hingga sepanjang jalan di kota Mekkah, bahkan juga sampai ke Ka’bah. Benarlah doa Nabi ﷺ, keislaman Umar mengguncangkan kaum musyrik dan menorehkan kehinaan bagi mereka. Tetapi sebaliknya memberikan kehormatan, kekuatan dan kegembiraan bagi orang muslim.
Propaganda masuk islamnya Umar
Tidak seperti mualaf sebelumnya yang umumnya menyembunyikan keislamannya, Umar sebaliknya. Ia pun mengingat-ingat siapa yang paling memusuhi Nabi ﷺ, siapa lagi kalau bukan Abu Jahal. Umar mendatangi rumahnya dan menggebrak pintunya. Begitu Abu Jahal keluar, Umar memberitahukan keislamannya. Abu Jahal menutup pintu dan masuk kembali ke rumahnya. Begitupun ketika ia memberitahukan kepada pamannya, Al Ash bin Hasyim, dia justru masuk ke rumah. Biasanya mereka berdua ini kalau bertemu dengan orang yang masuk Islam, mereka menangkap dan menyiksanya.
Ketika kembali kepada Nabi ﷺ, Umar menginginkan orang-orang Islam untuk tidak sembunyi-sembunyi lagi. Karena menurut pendapatnya, mereka ini dalam kebenaran, hidup ataupun mati. Nabi ﷺ membenarkan pendapat ini dan beliau menyetujui keinginan Umar.
Beliau mengeluarkan orang-orang muslim dalam dua kelompok, Hamzah memimpin kelompok pertama, yang telah memeluk Islam tiga hari mendahului Umar, dan Umar memimpin kelompok kedua.
Orang-orang musyrik hanya terpana tidak berani berbuat apa-apa seperti sebelumnya. Tampak jelas kesedihan di mata mereka. Karena itulah Rasulullah menggelari Umar dengan Al Faruq, pemisah antara yang haq dan yang bathil. Sejak saat itu orang orang Islam bisa beribadah dan membuat majelis di dekat Ka’bah, thawaf dan berdakwah, serta melakukan pencegahan terhadap siksaan-siksaan.
Kisah Sikap sahabat Umar atas Perjanjian Hudaibiyah
Ketika pihak Quraisy dan Nabi ﷺ menyetujui perjanjian Hudaibiyah, sebagian besar orang-orang Islam merasa kecewa. Umar sempat berkata, “Sesungguhnya Rasulullah telah berdamai dan mengadakan perjanjian dengan penduduk Makkah. Dalam perjanjian itu, Nabi ﷺ telah memberikan syarat yang kelihatannya lebih memihak pada kaum Quraisy. Seandainya Nabi mengangkat seorang amir yang berkuasa atasku, dan ia membuat perjanjian yang seperti itu, aku tidak akan mendengarkannya dan tidak akan taat kepadanya.”
Secara umum, sikap Umar dan sebagian besar orang-orang Islam dapat dipahami. Selain karena gagalnya niat untuk umrah, padahal sudah sangat dekat dengan Makkah, sementara golongan lain tidak mendapat halangan. Terlebih adalah klausul ke empat dari perjanjian tsb., yaitu : Jika ada orang-orang Quraisy yang datang kepada Nabi ﷺ tanpa seijin walinya, walaupun ia telah memeluk Islam, Nabi ﷺ harus mengembalikannya kepada mereka. Tetapi jika ada orang Islam yang meninggalkan Nabi ﷺ dan bergabung dengan orang-orang Quraisy, maka dia tidak boleh diminta untuk dikembalikan kepada Nabi ﷺ .
Klausul ini tampak nyata “kerugiannya” ketika datang salah seorang Quraisy yang telah masuk Islam, Abu Jandal bin Suhail bin Amr dalam keadaan terbelenggu datang kepada Nabi ﷺ untuk meminta perlindungan. Ketika itu pihak kaum Quraisy, Suhail bin Amr, langsung meminta agar mengembalikan Abu Jandal, yang tidak lain adalah anaknya sendiri, lagi kepadanya.
Walaupun dengan berbagai argumen, ternyata Rasulullah tidak bisa mempertahankan Abu Jandal untuk bersama umat Islam lainnya. Saat itu, Umar mendekati Abu Jandal menasehatinya tetap bersabar, tetapi juga mendekatkan gagang pedangnya kepada Abu Jandal. Sebenarnya ia berharap Abu Jandal akan mengambil pedang tsb. dan membabatkan ke tubuh ayahnya, tetapi itu tidak Abu Jandal lakukan.
Umar meminta Rasulullah ﷺ agar tidak menyerahkan Abu Jandal
Sikapnya yang temperamental dan tegas dengan kebenaran, memaksanya untuk menemui Rasulullah ﷺ setelah pengukuhan perjanjian ini. Ia berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Ya Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka di atas kebathilan?”
Nabi membenarkan.
“Bukankah korban meninggal di antara kita berada di surga, dan korban mati di antara mereka di neraka.” Kata Umar lagi.
Nabi ﷺ membenarkan lagi. Umar berkata lagi, “Lalu mengapa kita harus merendahkan agama kita dan kembali, padahal Allah belum memberikan keputusan antara kita dan mereka.?”
Nabi ﷺ menjawab, “Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah, dan aku tidak akan mendurhakaiNya, Dia penolongku, dan sekali-kali Dia tidak akan menelantarkan aku.”
Bukan namanya Umar al Faruq, kalau ia berhenti dengan penjelasan seperti itu. Ia berkata lagi, “Bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami, kita akan mendatangi Ka’bah dan Thawaf di sana?”
“Apakah aku pernah menjanjikan kita melakukannya tahun ini?” Kata Nabi ﷺ.
“Tidak, Ya Nabi…!” Jawab Umar.
Maka Nabi ﷺ menegaskan, “Kalau begitu, engkau akan pergi ke Ka’bah dan thawaf di sana!!”
Abu Bakar meminta Umar untuk bersabar
Walau tidak bisa lagi mendebat Nabi ﷺ, kemudian Umar mendatangi Abu Bakar dan menyampaikan keresahan yang ia rasakan dan sebagian besar orang Islam lainnya. Tetapi Abu Bakar memberikan jawaban yang sama dengan Nabi ﷺ, dan akhirnya ia menasehati Umar, “Patuhlah engkau kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia, Demi Allah, beliau berada di atas kebenaran.”
Tak lama berselang, turunlah wahyu Allah, “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Al Fath 1). Nabi ﷺ membacakan ayat ini dan ayat-ayat selanjutnya kepada Umar, barulah hatinya merasa tenang.
Berlalulah waktu, Umar menyadari apa yang Ia lakukan kepada Nabi ﷺ, dan tak habisnya ia menyesali sikapnya. Ia ungkapkan kegundahan hatinya dengan kata-katanya, “Setelah itu aku terus menerus melakukan berbagai amal, bersedekah, berpuasa, shalat dan berusaha membebaskan dari apa yang kulakukan saat itu. Peristiwa itu selalu membayangiku, dan aku berharap semoga ini merupakan kebaikan (sebagai penebus sikapku saat itu)”
Kisah Kelembutan Hati Sahabat Umar
Rasa kasihan kepada kepada pemeluk non Islam
Sikap tegas dan temperamental Umar bin Khaththab ternyata berubah drastis ketika ia telah mendapat bai’at menjadi khalifah. pernah ia melewati biara seorang rahib, yang kemudian memanggilnya. Ketika melihat kehidupannya yang susah dan semangatnya dalam zuhud -meninggalkan segala kesenangan dunia- Umar jadi menangis.
Begitu Ia diberitahukan kalau dia seorang Nashrani. Umar berkata, “Aku tahu dia seorang Nashrani, aku kasihan kepadanya. Sayang sekali ia dalam kelelahan dan kepayahan dalam kehidupan dunia ini, sedangkan di akhirat nanti ia masuk neraka.”
Pernah dikabarkan kepada Umar. Umar yang pada saat itu menjabat sebagai Amirul Mukminin, bahwa ada seseorang yang murtad. Kemudian orang itu mendapat hukuman mati oleh pasukan yang Abu Musa RA Pimpin. Umar menyesalkan tindakan tsb. Dan berkata, “Apakah engkau telah menahannya selama tiga hari dan memberinya roti, serta memintanya untuk kembali kepada Islam dan bertaubat, kembali kepada perintah Allah? Ya Allah, sesungguhnya aku tidak hadir saat itu, tidak memerintahkannya, dan tidak ridha atas apa yang mereka lakukan jika kabar ini sampai kepadaku sebelumnya.”
Walaupun secara hukum syariat, apa yang Abu Musa lakukan sebagai komandan pasukan tidak salah. Tetapi tetap saja hal itu meresahkan Umar sebagai Amirul Mukminin. Yang sebenarnya harus melindungi semua manusia yang berada di bawah pemerintahannya.
Kisah Sahabat Umar dalam Menolong Persalinan Keluarga Pengembara
Telah menjadi kebiasaan Umar sebagai Amirul Mukminin untuk berkeliling kota saat malam hari menjelang. Suatu ketika ia menemukan suatu kemah tua dari kulit unta di suatu padang. Sebelum ini tidak pernah menemuinya. Di luarnya ada seorang lelaki duduk termenung. Umar menghampirinya, dan bertanya, “Assalamualaikum, dari mana anda datang?”
“Wahai tuan,” Kata orang itu, “Saya orang asing di sini yang datang dari hutan. Saya hendak menemui Amirul Mukminin untuk mengharap belas kasihannya.”
Tampaknya orang tersebut belum pernah bertemu dan mengenali wajah Umar. Dan Umar tidak mau membuka jati dirinya. Ia berkata, “Katakanlah keperluanmu, aku bersedia membantu,”
Tiba-tiba didengarnya ada suara rintihan dari dalam kemah. Umar menanyakannya lagi, tetapi orang tersebut malah menyuruh Umar pergi, tanpa menjelaskannya. Setelah Umar terus mendesak, orang tersebut berkata, “Jika benar engkau ingin membantu, baiklah kuberitahukan. Di dalam kemah tersebut adalah istriku yang mengerang kesakitan karena akan melahirkan.”
“Apakah ada orang lain yang sedang merawatnya?” Tanya Umar.
Cucu Rasulullah ﷺ turun tangan menolong dalam persalinan
Orang tersebut menggeleng sedih. Mendengar jawaban ini, Umar bergegas pulang dan menemui istrinya, Umi Kultsum binti Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah ﷺ. Ia menceritakan secara apa yang ia lihat. Dan kemudian berkata, “Wahai istriku, sesungguhnya Allah SWT membuka jalan bagimu, jalan yang mulia di sisi Allah, agar engkau memperoleh peluang berbuat kebaikan malam ini.”
Umar memintanya membantu persalinan pengembara tsb. dan istrinya setuju. Ia mempersiapkan peralatan yang Ia butuhkan. Dan Umar juga membawa perbekalan, kemudian bergegas menuju padang di mana suami istri pengembara itu berada. Sampai di sana, Umi Kultsum langsung masuk kemah dan menolong persalinan sang istri. Sedang Umar menyalakan api kemudian memasak makanan untuk dua orang tersebut.
Tidak berapa lama, terdengar seruan Umi Kultsum dari dalam kemah, “Ya Amirul Mukminin, ucapkanlah tahniah (selamat) kepada saudaramu itu, karena ia memperoleh seorang anak laki-laki.”
Mendengar ucapan dari dalam kemah tersebut, si lelaki jadi terkejut. Tidak ia sangka kalau yang bersusah payah membantunya ini ternyata Umar, Amirul Mukminin yang sempat ia acuhkan. Umar meminta istrinya membawa masuk makanan bagi sang ibu baru tsb. Dan terhadap si lelaki yang tampak terkejut, ia berkata “Tidak mengapa wahai Saudara, janganlah kedudukanku ini membebani perasaanmu. Datanglah besok menemuiku, aku akan mencoba menolongmu!”
Setelah semuanya selesai, Umar dan Istrinya, Ummi Kultsum berpamitan.
Kisah Sahabat Umar Menemukan Menantunya
Salah satu kebiasaan Umar bin Khaththab saat menjadi khalifah, adalah berkeliling kota di waktu malam untuk mengetahui keadaan umat Islam. Ia khawatir kalau ada di antara mereka yang merasa terdzalimi karena kepemimpinannya, dan akan memberatkan hisabnya di akhirat.
Dalam salah satu perjalanannya menjelang fajar, ia mendengar pembicaraan seorang ibu dan anak. Ibunya meminta anak perempuannya untuk mencampur susu yang akan dia jual pagi harinya dengan air. Tetapi sang anak dengan tegas menolak. Dan berkata, “Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah melarangnya!”
Tetapi ibunya tetap saja menyuruh anaknya, karena kebanyakan penjual susu melakukan itu. Apalagi Amirul Mukminin Umar bin Khaththab tidak akan mengetahuinya. Tetapi putrinya itu bertahan untuk tidak mencampurinya. Dan ia berkata, “Jika Umar tidak melihatnya, pasti Tuhannya Umar melihatnya. Aku tidak mau melakukannya karena sudah dilarang.”
Umar begitu tersentuh dengan ucapan anak perempuan itu. Pagi harinya ia menyuruh putranya, Ashim untuk mencari tahu tentang keluarga tersebut, yang ternyata salah seorang dari Bani Hilal. Umar berkata pada anaknya, “Wahai anakku, nikahlah dengannya, sesungguhnya ia yang pantas melahirkan keturunan seorang penunggang kuda yang akan memimpin Arab.”
Ashim memenuhi permintaan ayahnya tersebut menikah dengan anak gadis penjual susu. Dari pernikahannya itu, istrinya melahirkan seorang anak perempuan. Yang kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan ini lahirlah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin adil dan jujur, tak ubahnya Khulafaur Rasyidin yang empat. Walaupun ia tumbuh dan dewasa di kalangan Bani Umayyah yang mengagungkan kemewahan dan kekuasaan. Seorang pemimpin yang zuhud, sederhana dan wara’ sebagaimana kakek buyutnya, Umar bin Khaththab. Sehingga ia sering disebut Khulafaur Rasyidin yang ke lima.
Kisah karamah Sahabat Umar bin Khaththab Ra
Memperingatkan Pasukan Perang dari Mimbar Jum’at
Suatu ketika Umar bin Khaththab tengah berkhutbah di Masjid Madinah, tiba-tiba berseru lantang, “Wahai pasukan Ibnu Hishn, gunung! gunung! Menjauhlah dari gunung! Barang siapa meminta srigala menggembalakan kambing, ia dzalim!”
Sesaat kemudian ia meneruskan khutbahnya. Tentu saja para jamaah jum’at saat itu saling berpandangan tak mengerti. Apa maksud dari Amirul Mukminin dengan perkataannya tsb. Usai shalat, Ali bin Abi Thalib menghampiri Umar dan menanyakan apa yang terjadi.
“Engkau mendengarnya?” Tanya Umar.
“Tentu saja, dan juga semua orang di dalam masjid!” Kata Ali.
Umar menjelaskan, kalau dengan hatinya ia melihat orang-orang musyrikin bersiap menyerang pasukan muslim melalui pundak-pundak mereka, mereka akan melewati gunung. Jika orang mukmin berpaling dari gunung, mereka dapat menyerang dan menang, tetapi jika mereka melintasi gunung, mereka yang akan hancur. Karena itu aku berteriak memperingatkan mereka.
Sebulan kemudian ada pembawa berita ke Madinah tentang kemenangan pasukan muslimin. Pada hari peperangan itu terdengar suara seperti suara Umar memperingatkan, “Wahai pasukan Ibnu Hishn, Gunung! Gunung ! Menjauhlah dari gunung!” Mereka mengikuti suara tersebut sehingga Allah memberi kemenangan kepada mereka.
Kisah Sahabat Umar Berkirim Surat kepada Sungai Nil
Pasukan muslim menaklukkan Mesir dan Umar mengangkat Amru bin Ash sebagai Gubernur Mesir. Suatu saat kelompok penduduk sekitar sungai Nil mendatangi Amru Bin Ash karena sungai itu sedang kering. Mereka berkata, “Wahai Gubernur, saat ini sungai Nil sedang kering. Kami biasa melakukan suatu tradisi, dan sungai Nil itu tidak akan mengalirkan air kecuali jika kami memenuhi tradisi tersebut.”


Waktu Amr bin Ash menanyakan tentang tradisi tersebut, mereka menjelaskan, bahwa setelah berlalu sebelas hari dari bulan tersebut, mereka mencari seorang gadis untuk dikurbankan. Mereka meminta kerelaan orang tuanya, kemudian gadis ini mereka dandani dan mereka beri perhiasan yang paling indah. Dan akhirnya mereka melemparkan nya ke sungai Nil sebagai persembahan. Jika semua itu mereka lakukan, biasanya Nil akan mengalirkan airnya lagi.
Tentu saja Amr bin Ash melarang mereka melanjutkan tradisi yang seperti itu, karena Islam menghancurkan tradisi-tradisi jahiliah yang merusak. Kembalilah penduduk sekitar Nil ini ke rumahnya masing-masing dan sungai itu tetap dalam keadaan kering, hingga hampir saja mereka memutuskan untuk pindah.
Amr Bin Ash Mengirim Surat Kepada Umar Bin Khaththab
Melihat keadaan yang memprihatinkan masyarakat itu, Amru bin Ash mengirim surat pada Umar bin Khaththab dan menceritakan keadaan tersebut. Umar membalas surat Amr bin Ash dan membenarkan tindakan yang Amru Bin Ash ambil untuk menghentikan tradisi kuno tsb. Selain itu Umar juga menyelipkan suatu surat lain. Surat yang Ia tujukan untuk sungai Nil. Umar meminta Amr untuk melemparkan surat tersebut ke dalam sungai Nil yang sedang kering. Isi surat tersebut adalah sebagai berikut :
“Dari hamba Allah, Umar bin Khaththab, Amirul Mukminin, kepada hamba Allah Nil di Mesir, Amma Ba’du. Jika engkau mengalir dari dirimu sendiri, maka janganlah kamu mengalir. Namun jika Allah yang mengalirkan, maka mintalah kepada Dzat Yang Maha Kuat untuk mengalirkanmu.”
Amr melemparkan surat tersebut ke sungai Nil pada malam harinya, sehari sebelum peringatan hari raya salib. Pada pagi harinya, sungai Nil telah terisi air sedalam enam belas hasta hanya dalam semalam, dan mengalir terus hingga sekarang. Sungguh dengan ijin Allah, tradisi kuno yang berjalan ratusan bahkan ribuan tahun telah hancur oleh secarik surat dari Umar bin Khaththab.
Kekhawatiran Umar sebagai Amirul Mukminin


(pic : CNNindonesia.com)
“Cambuklah aku sebagai tindakan balas”
Umar sedang sibuk dengan suatu urusan penting, ketika seseorang datang untuk mengadukan kalau seseorang telah mendzaliminya. Umar yang merasa terganggu, menjadi marah dan mencambuk orang tersebut. Sambil berkata, “Ketika aku menyediakan waktu untuk menerima pengaduan, engkau tidak datang. Sekarang ketika aku sedang sibuk dengan suatu urusan penting, engkau datang mengganggu.”
Menerima perlakuan ini, orang itu berlalu meninggalkan Umar. Sesaat kemudian Umar sadar apa yang telah ia lakukan. Sebagai seorang Amirul Mukminin, tidak seharusnya ia mendzalimi orang yang mengadu kepadanya. Umar mengirim seseorang untuk menjemput orang tersebut. Ketika dia datang, Umar menyodorkan cambuk yang tadi ia pakai untuk mencambuk. Dan berkata, “Cambuklah aku sebagai tindakan balas, karena aku telah mendzalimimu!”
“Tidak!” Kata orang itu, “Aku telah memaafkanmu karena Allah.”
Umar menangis mendengar jawaban itu, ia pulang dan mendirikan shalat dua rakaat. Dan terus menerus mengatakan pada dirinya sendiri dengan menangis, “Wahai Umar, dahulu kedudukanmu rendah tetapi kini ditinggikan oleh Allah. Dahulu engkau sesat tetapi kini diberi hidayah oleh Allah. Dahulu kamu hina tetapi kini Allah memuliakan dan menjadikanmu seorang khalifah. Namun ketika salah seorang dari mereka memohon keadilan, engkau malah memukul dan menyakitinya, hari kiamat nanti, apa yang akan engkau katakan kepada Allah sebagai alasan?”
“Apa setiap orang Islam mampu membeli tepung yang baik?”
Satu saat ketika sedang makan, pembantunya memberitahukan kalau seorang sahabat, Utbah bin Abi Farqad datang untuk menemuinya, dan Umar mengijinkannya. Utbah masuk dan duduk bersama Umar dan Umar mempersilahkannya untuk makan roti bersamanya. Utbah kesulitan untuk menelan roti tersebut karena terlalu keras, ia berkata, “Padahal engkau mampu membeli makanan dari tepung yang empuk..!!”
“Apakah setiap orang Islam mampu membeli tepung yang baik?” Tanya Umar.
“Tentu saja tidak!” Kata Utbah.
“Sungguh menyesal,” Kata Umar, “Engkau menginginkan agar aku menghabiskan seluruh kenikmatan hidupku di dunia ini?”
Memang telah menjadi komitmien Umar ketika ia mendapat ba’iat sebagai Khalifah, “Kalau terjadi kelaparan pada umat Islam, akulah orang pertama yang akan mengalami kelaparan. Dan jika terjadi kemakmuran bagi umat Islam, aku adalah orang terakhir yang merasakan kemakmuran itu.”
Dan inilah yang sahabat Utbah lihat, dan juga sahabat-sahabat lainnya, bagaimana Umar menjalani kehidupannya sebagai khalifah.
“Bagaimana dan dari mana asal susu ini?”
Suatu kali seseorang membawakan segelas susu untuk Umar. Umar yang memang sedang kehausan segera saja meminum susu tsb. Tetapi Ia merasakan ada yang aneh dengan susu tersebut. Ia pun bertanya, “Bagaimana dan dari mana susu ini?
“Di hutan sana ada seekor unta sedekah,” Kata orang itu, “Ketika aku berjalan di sana, orang-orang sedang memerah susu unta tersebut, mereka memberikan segelas susu kepadaku, yang kemudian kuberikan kepadamu.”
“Astaghfirullah,” Kata Umar. Ia memasukkan tanganmya ke mulutnya. Dan berusaha untuk memuntahkan semua susu yang telah diminumnya. Ia tidak ingin ada barang syubhat yang masuk ke perutnya.
“…Itu berarti aku mendapatkan lebih dari hakku yang halal!”
Ketika Bahrain telak takluk. Didatangkanlah sejumlah besar kesturi ke kota Madinah. Umar pun berkata, “Apakah ada di antara kalian yang mau menimbang dan membagi-bagikan kesturi ini pada umat Islam?”
“Saya bersedia menimbangnya!” Kata Atikah, yang tidak lain istri Umar sendiri.
Tetapi Umar mengabaikannya dan sekali lagi mengulang pertanyaannya. Karena tidak ada yang menjawab, atau bisa juga sungkan karena Atikah, istri Amirul Mukminin telah mengajukan diri. sekali lagi Atikah yang menyatakan kesediaannya, dan Umar pun masih mengabaikannya.
Ketika untuk ketiga kalinya Atikah mengajukan dirinya, Umar berkata, “Aku tidak suka kamu meletakkan kesturi itu di timbangan dengan tanganmu, kemudian kamu menyapukan tangan yang berbau kesturi ke badanmu, karena itu berarti aku mendapatkan lebih dari hakku yang halal.”
“….Apakah engkau mengira bahwa sabda Nabi ﷺ akan terjadi pada jamanku?”
Seusai perang Hunain, ketika orang-orang Anshar merasa tidak puas dengan cara Nabi ﷺ membagi ghanimah, beliau mengumpulkan mereka dan menjelaskan alasannya. Setelah itu beliau bersabda, bahwa orang-orang Anshar suatu ketika akan menerima perlakuan berat sebelah dan tidak adil dari mereka yang sedang berkuasa.
Suatu ketika Umar membagi-bagikan pakaian kepada umat Islam. Usaid bin Hudair, salah seorang tokoh sahabat Anshar, melihat seorang pemuda Quraisy memakai pakaian pemberian Umar yang lebih bagus daripada yang ia terima, ia pun berkata, “Benarlah Allah dan Rasulnya!!”
Ketika Umar mendapat kabar tentang penuturan Usaid, segera saja ia menemui Usaid, yang saat itu sedang shalat. Dengan sabar Umar menunggunya sampai selesai shalat, setelah itu ia berkata, “Wahai Usaid, apakah engkau mengira bahwa sabda beliau itu (yakni sabda beliau seusai Perang Hunain) akan terjadi pada jamanku ini? Sesungguhnya pakaian itu telah aku berikan kepada seseorang yang mengikuti perang Badar dan Uhud, dan juga Ba’iatul Aqabah, dan pemuda Quraisy itu telah membeli pakaian tersebut darinya!”
Setelah mendengar penjelasan tersebut, Usaid berkata, “Demi Allah, aku mengira hal itu tidak akan terjadi pada jamanmu!!”
Pengaduan Muhammad Bin Maslamah Ra.
Dalam kasus yang sama, Muhammad bin Maslamah RA, seorang sahabat Anshar juga. Ia dua kali bertemu dengan orang Quraisy yang berpakaian bagus. Dan mereka berkata kalau mendapat pemberian dari Amirul Mukminin, yakni Umar bin Khaththab. Sejenak kemudian ia bertemu seorang Anshar yang berpakaian jelek, yang juga merupakan pemberian Umar. Maka, ketika ia masuk ke dalam Masjid Nabi ﷺ, ia pun berseru agak keras, “Allahu Akbar, sungguh benarlah Allah dan RasulNya!”
Ibnu Maslamah mengulang ucapannya tersebut sampai dua kali. Umar yang mendengar ucapannya tersebut segera menghampirinya dan menanyakan maksudnya, tetapi Ibnu Maslamah menunda menjawabnya hingga ia selesai shalat sunnah.
Usai shalat, ia menemui Umar dan menceritakan apa yang ia temui dalam perjalana. Dan juga sabda Nabi ﷺ kepada orang-orang Anshar setelah berakhirnya Perang Hunain. Kemudian ia berkata, “Sungguh aku tidak ingin dan tidak senang, sabda Nabi ﷺ tersebut terjadi pada jamanmu ini!”
Umar menangis mendengar penuturan tersebut, dan berkata, “Aku memohon ampunan kepada Allah, sungguh aku tidak akan mengulanginya lagi!”
“…naiklah, ini giliranmu…!!”
Pada tahun 16 hijriah, pasukan muslim mengepung kota al Quds. Yang di sana terdapat Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha). Dan setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya gubernur al Quds, Beatrice Sofernius bersedia menyerahkan kota tersebut, khususnya Baitul Maqdis. Tetapi langsung kepada Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab. Karena itu komandan pasukan mengirim surat untuk meminta kehadiran Umar ke sana.
Umar langsung menanggapi permintaan tersebut, ia berangkat dengan hanya seorang pembantunya dan satu tunggangan (kuda atau onta). Ketika sampai di luar kota Madinah, Umar berkata kepada pembantunya, “Wahai Ghulam, kita berdua hanya memiliki satu tunggangan. Jika saya naik dan engkau berjalan kaki, artinya aku menzhalimimu. Jika engkau naik dan aku berjalan kaki, engkau yang menzhalimiku. Jika kita berdua naik, kita menzhalimi tunggangan kita…”
“Kalau begitu bagaimana sebaiknya, ya Amirul Mukminin?”


Pembagian jatah naik kendaraan
Marilah kita bagi tiga periode waktu, pertama aku yang menaikinya, kedua engkau yang menaikinya, dan ketiga, biarlah tunggangan kita melenggang tanpa beban. Pelayannya tersebut menyetujuinya. Umar memperoleh giliran pertama menaikinya. Setelah waktu yang merela sepakati habis, ganti sang pelayan yang menaikinya. Dan setelah waktunya habis, mereka berdua membiarkan tunggangannya bebas.
Begitulah giliran itu bergulir terus. Ketika telah memasuki pintu kota al Quds, ternyata bertepatan dengan selesainya giliran Umar. Dan ia turun sambil berkata kepada pembantunya, “Kini giliranmu, naiklah!!”
Sang pembantu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau jangan turun dan saya tidak mungkin naik. Kita telah sampai di kota tujuan, di sana ada peradaban, kemajuan dan berbagai pemandangan modern. Jika kita datang dengan keadaan ini, saya naik sedang engkau menuntun, tentu mereka akan merendahkan dan mentertawakan kita. Dan itu akan mempengaruhi kemenangan kita!!”
Tetapi dengan tegas Umar berkata, “Naiklah, ini giliranmu. Demi Allah, kalau memang waktunya giliranku, aku tidak akan turun dan engkau tidak perlu naik!!”
Inilah memang ciri khas Umar, ia takut berlaku zhalim dan bersikap tidak adil kalau harus tetap naik tunggangan hanya karena telah memasuki kota al Quds. Ketika masyarakat kota yang menyambut mereka di Babul Damaskus melihatnya, mereka langsung mengelu-elukan sang pembantu yang menunggang dan mengabaikan Umar yang menuntun tunggangan. Memang, dalam penampilan dan baju yang mereka kenakan, Umar tidaklah jauh berbeda dengan pembantunya tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang melakukan penghormatan dengan sujud, sehingga pembantu itu memukulnya dengan tongkatnya, sambil berkata, “Celaka kalian, angkatlah muka kalian, sungguh tidak boleh bersujud kecuali kepada Allah semata..!!”
Ketika tiba di hadapan gubernur Beatrice Sofernicus dan pasukan muslimin, barulah mereka tahu kalau Amirul Mukminin Umar bin Khaththab itu adalah yang berjalan menuntun tunggangan, karena mereka menyapa dan menyalaminya.
Gaji Umar bin Khaththab sebagai Amirul Mukminin
Seperti halnya yang ia sarankan kepada Abu Bakar, setelah mendapat ba’iat sebagai khalifah, Umar tidak mungkin tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Karena itu ia mengumpulkan masyarakat Madinah seraya berkata pada mereka. “Dahulu aku berdagang untuk memenuhi kebutuhan keluargaku, sekarang kalian telah memberiku kesibukan dalam menangani urusan ini, bagaimana aku akan memenuhi kebutuhan hidup keluargaku?”
Merekapun setuju memberikan tunjangan kepada Umar sebagaimana dahulu berikan kepada Abu Bakar, tetapi berbagai usulan yang berbeda muncul dalam menentukan jumlahnya. Setelah berbagai perbedaan pendapat tanpa kepastian, Umar berpaling kepada Ali bin Abi Thalib, “Bagaimana pendapatmu, wahai Ali?”
“Ambillah uang sekedar yang bisa memenuhi mencukupi kebutuhan keluargamu!!” Kata Ali.
Dengan senang hati, Umar menerima usulan Ali ini. Berlalulah waktu, Islam memperoleh kejayaan di mana-mana sehingga harta benda mengalir ke Madinah memenuhi Baitul Mal. Beberapa sahabat, di antaranya Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah termasuk Ali bin Abi Thalib berkumpul dalam satu majelis. Mereka berkumpul untuk mengusulkan kenaikan tunjangan bagi Umar. Karena tunjangan tersebut mereka nilai terlalu kecil, terlebih jika melihat begitu banyaknya kekayaan negara dalam Baitul Mal.
Kesepakatan tercapai, tetapi mereka takut untuk menyampaikan hal ini pada Umar. Karena itu mereka meminta tolong kepada Hafshah RA, putri Umar yang juga Istri Nabi ﷺ, untuk menyampaikan usulan ini pada Umar. Tetapi mereka berpesan agar merahasiakan nama-nama mereka. Ketika Hafshah mengemukakan usul ini, Umar menjadi marah.
Penyampaian Hafshaf kepada Umar
“Siapa yang mengajukan usul tersebut?” Kata Umar dengan nada tinggi.
“Bagaimana pendapat dulu, ayah?” Kata Hafshah mengelak, karena ia telah berjanji untuk merahasiakannya.
“Seandainya aku tahu nama-nama mereka, niscaya aku pukul wajahnya,” Kata Umar,
“Katakan padaku Hafshah, apakah pakaian terbaik Nabi ﷺ yang ada di rumahmu?”
“Sepasang pakaian berwarna merah, yang dipakai pada hari Jum’at dan ketika menerima tamu…”
“Makanan apa yang paling lezat, yang pernah dimakan Nabi ﷺ di rumahmu?” Tanya Umar lagi.
“Roti yang terbuat dari tepung kasar, yang dicelup ke dalam minyak. Suatu kali saya oleskan sisa-sisa mertega, dan beliau memakannya penuh nikmat dan membagi-bagikannya pada orang lain…”
“Alas tidur apa yang paling baik, yang pernah dipakai Nabi ﷺ di rumahmu?” Tanya Umar lagi.
“Sehelai kain tebal, yang pada musim panas dilipat empat, dan pada musim dingin dilipat dua, separuh dijadikan alas tidur, dan separuhnya lagi untuk selimut…” Kata Hafshah.
Umar kemudian berkata, “Sekarang pergilah, katakan pada mereka Rasulullah telah mencontohkan pola hidup seperti ini dan aku mengikuti beliau. Nabi ﷺ, Abu Bakar dan aku bagaikan tiga orang musafir yang menempuh suatu jalan. Musafir pertama telah sampai dengan perbekalannya, musafir kedua telah mengikuti jejak musafir pertama. Dan yang ketiga ini baru saja memulai perjalanannya, kalau ia mengikuti jejak keduanya, ia akan sampai kepada mereka, jika tidak maka ia tidak akan pernah bertemu mereka lagi.”
Mari bergabung dalam komunitas pencinta pencinta siroh nabawi. Karena akan ada banyak kisah Siroh Nabi Muhammad ﷺ , para sahabat dan sahabiyah dan para Ulama yang dapat kita ambil hikmahnya.